Deskripsi Singkat
Hasil analisis data SSGI 2021 dari provinsi Jawa Tengah menunjukkan bahwa
rerata skor Z PB/U anak usia 6-23 bulan dengan riwayat ASI eksklusif lebih
rendah secara signifikan daripada anak yang tidak diberi ASI eksklusif.(2) Hal ini
terjadi pada semua tingkat sosial ekonomi (kuintil kepemilikan barang), seperti
terlihat pada Gambar 1. Penelitian menggunakan data nasional Riskesdas 2013
menemukan bahwa pemberian ASI non eksklusif merupakan faktor protektif
terhadap kejadian stunting pada anak baduta.(3) Penelitian lain yang
menggunakan data nasional Riskesdas 2018 juga menunjukkan bahwa riwayat
tidak diberi ASI eksklusif merupakan faktor protektif terhadap kejadian gagal
tumbuh pada anak usia 6-23 bulan.(4)
Hal ini dapat terjadi karena rendahnya status gizi ibu menyusui. Penelitian
Madanijah S et al. di Bogor yang dipublikasikan pada tahun 2016 menunjukkan
bahwa lebih dari separuh ibu menyusui tidak memenuhi kebutuhan gizi
minimal, pada semua tingkat sosial ekonomi.(5) Penelitian di Demak pada tahun
2021 memberikan data bahwa asupan gizi pada ibu menyusui lebih rendah
daripada tidak menyusui.(6) Penelitian lain di Kabupaten Sumedang dan Kota
Bandung tahun 2020 menunjukkan bahwa ada hubungan antara status
mikronutrien ibu bayi usia 5 bulan dengan status mikronutrien ASI. Asupan gizi
yang kurang pada ibu menyusui berhubungan dengan kandungan gizi pada
ASI.(7) Hal ini menunjukkan pentingnya status gizi yang baik pada ibu
menyusui untuk dapat menghasilkan ASI yang cukup secara kuantitas dan
kualitas.
Angka kecukupan gizi ibu menyusui lebih tinggi daripada ibu hamil. Sebagai
contoh, ibu hamil trimester kedua dan ketiga membutuhkan tambahan energi
sebesar 300 kkal/ hari, sedangkan ibu menyusui membutuhkan tambahan
energi sebesar 330 kkal/ hari saat bayi usia <6 bulan dan 400 kkal/ hari saat bayi
usia > 6 bulan. Demikian pula dengan kebutuhan vitamin dan mineral.
Penambahan protein diperlukan untuk sintesis hormon prolaktin dan oksitosin
yang akan memacu produksi ASI.(8)
Keunggulan
Keunggulan policy brief diharapkan dapat menjawab permasalahan karena :
1. Belum ada program yang spesifik untuk ibu menyusui.
2. Asupan gizi ibu menyusui belum memenuhi kebutuhan gizi. Hal ini dapat terjadi karena
kurangnya pengetahuan tentang pemenuhan kebutuhan gizi ibu menyusui dan atau kurangnya kemampuan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan gizi ibu menyusui.
3. Belum ada program suplementasi atau pemberian makanan tambahan untuk ibu menyusui. Program yang sudah ada untuk ibu menyusui hanya pemberian kapsul vitamin A pada masa nifas
Potensi Produk
Rekomendasi policy brief kepada OPD :
1. Dinas pertanian dan ketahanan pangan dapat meningkatkan kawasan pangan mandiri yang pemanfaatannya juga ditujukan untuk ibu menyusui. (tanaman pangan sumber protein dan tanaman yang dapat digunakan sebagai pelancar produksi ASI)
2. Dispermades untuk lebih memberdayakan masyarakat desa dengan meningkatkan perhatian pada pemenuhan gizi ibu menyusui dan melakukan advokasi kepada pemerintah desa agar memanfaatkan dana desa untuk mendukung program bagi ibu menyusui
3. Dinkes untuk memasukkan program untuk ibu menyusui dalam kelas ibu balita dan penyediaan suplementasi maupun pemberian makanan tambahan bagi ibu menyusui.
4. Dinas sosial perlu memberikan bantuan pangan untuk keluarga ibu menyusui.
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dapat berperan dalam koordinasi penganggaran bagi pemenuhan gizi seimbang untuk ibu menyusui.
5. DP3A2KB bersama Dinkes dapat mengaktifkan tim pendamping keluarga untuk melakukan pendampingan kepada keluarga ibu menyusui.